“BAKSO
MELUPAKAN SEGALANYA”
KARYA :
INTAN KEZAI
Akhirnya
sampai juga lah aku di tempat tujuanku dengan selamat, setelah melalui macetnya
jalan kota Medan. Sesampainya aku di UNIMED aku langsung saja berjalan masuk
menuju Gedung Serba Guna Unimed. Disana sedang diadakan perlombaan yang sangat
ditunggu-tunggu oleh pecinta kesenian dan sastra yaitu, AMUK TEATER SUMATERA
UTARA. Dan aku salah satu orang yang mengikuti perlombaan itu. Aku dan
kelompokku, tentu saja kami turut serta mendaftarkan diri atas nama sekolah
kami dan exkul tercinta kami yaitu, Teater Khansa SMK Negeri 1 Medan.
Hari
itu tepat hari ketiga diadakannya perlombaan Amuk Teater Sumatera utara dan
juga pengumuman para pemenang dengan masing-masing kategori perlombaan.
Kelompokku yaitu Teater Khansa hanya mengikuti dua kategori perlombaan yaitu, perlombaan
teater dan baca puisi. Hari itu aku datang ketempat itu untuk menyaksikkan
hasil akhir perjuangan kami selama sebulan penuh kami berlatih dengan penuh
kerja keras.
“siang
pak! Jam berapa pengumumannya pak?” aku meraih kedua tangan guru-guruku dan
seorang pelatih teaterku.
“masih
lama ntan, paling... 2 jam lagi” sahut salah satu guruku yang tidak termasuk
pembina di teater Khansa, namun dia turut ikut membantu sekaligus menyaksikan
penampilan kami kemarin.
“ouh...yang
lainnya udah pada datang pak Wendi?” tanya ku pada guru sekaligus pembina
teater Khansa kami.
“belom,
baru si Khael yang datang”.
“mana
dia pak sekarang?” aku pun melirik kesana-kemari mencari keberadaan teman satu
tim ku itu.
“itu
disana” sambil menunjuk kearah deretan paling belakang diantara barisan kursi
penonton. Dan dengan sigap, aku pun langsung berjalan menuju Khael yang sedang
santai memperhatikan deretan piala-piala di depan panggung.
“woy
Khael! Ngapain kau disini? Belom mulai pun acaranya, nggak bosen kau?” aku
sambil melirik kesana kemari memperhatikan sekeliling tempat duduk penonton
yang memadat.
“nggak
akh, biasa aja. Kau baru datang?” .
“iya,
barusan aja. Kau dari jam berapa datang kesini?”.
“dari
jam duabelas aku datang kesini” jawab Khael dengan santainya.
“ya...ampun,
berarti udah lama kali kau nunggu disini ya. Ish...ish...ish kasiannya”dengan
nada bicara sedikit mengejek.
“ehk...kau
tadi ada nampak orang itu di gerbang?”.
“
‘orang itu’ siapa?” tanyaku penasaran karena tidak mengerti dengan beberapa
kata ‘tidak baku’ yang barusan diucapkan oleh Khael.
“orang
si Wahyu lah! Jadi siapa!” aku hanya senyum-senyum tipis tanpa merasa bersalah
karen atelah membuat kesal Khael.
“nggak
ada aku nampak orang itu digerbang. Mungkin aja nggak dateng orang itu”.
“ooohk...katanya
mau dateng, tapi nyatanya nggak datang-datang. Macem mana lah si Wahyu itu” dan
sekali lagi Khael menunjukkan raut kesal diwajahnya yang agak pas-pasan. Karena
sudah bosan bercerita-cerita dengan Khael, aku pun kembali pergi menuju tempat
semula aku berada yaitu, duduk disamping pak Wendi, pak Ari dan bunda Ibi.
“pak!,
pak Ahmad udah datang?” aku menanyakan salah satu pembina teaterku juga yang
tak nampak batang hidungnya.
“udah,
lagi dilantai dua bapak itu.” Pak Wendi menunjuk kearah gedung serba guna
lantai dua. Karena merasa kian lama semakin bosan, aku pun izin permisi ke
guruku dan pelatihku untuk pergi
mengambil biji saga yang bertebaran di taman dekat gedung serba guna. Aku
memang kurang kerjaan, maklumilah karena aku merasa bosan.
Sudah kira-kira satu setengah jam aku beserta
guru-guru dan pelatih ku menunggu di sana akhirnya 3 orang teman ku yang
lainnya datang juga yaitu, Wahyu, Ita, Nova dan Ani. Namun karena mereka tidak
melihat kearah kami, aku pun terpaksa mengejar mereka.
“woy...Wahyu!
Ita! Hei! Sini klen...”aku pun berlari sambil meneriaki nama merka agar menoleh
padaku.
“ehk...Intan,
dimana pak Wendi?” Ita langsung bertanya ketika melihat kehadiranku.
“itu!
Disana kami dari tadi nungguin kelen. Lama kali kelen datang?” kami pun
berjalan menuju tempat aku beserta guru-guru dan pelatihku tadi duduk bersama.
“ini
nih! Sih Wahyu inih! Ngasih jalan sesat aja” sambar Nova langsung, namun si
Wahyu malah senyum-senyum nggak jelas.
“emang
di apainnya kelen?”.
“itulah,
masa disurunya kami lewat gerbang ujung. Jadinya muter-muterlah kami nyari
jalan kesini. Udah gitu nggak mau lepas sepatu pula itu, apa nggak ngeselin
kali kayak gitu. Eghk...” Ani pun berujar dengan dengan penuh semangat yang
membara sambil mencubit pelan lengan Wahyu, yang menghasilkan ringisan pelan
dari mulut Wahyu.
“ya
maaf lah we, lagian kan malu lepas sepatu. Kelen aja yang kayak gitu, aku nggak
usah ikut-ikutan” sambil nyengir-nyegir Wahyu menyalami guru-guru da pelatih
kami dan dilanjutkan dengan teman-teman yang lainnya.
“mana
yang lainnya hyu? Ada nampak kelen tadi?” pak Wendi langsung saja bertanya
ketika melihat kedatangan mereka semua.
“nggak
tau pak, nggak ada jumpa”. Wahyu sambil meletakkan tasnya lalu langsung duduk
santai, “aduuh...capenya”.
“loh,
Ani kemana sepatumu?”tanya pak Ari ketika matanya menangkap sesuatu yang ganjil
pada tiga orang gadis ABG yang baru saja datang bersama Wahyu, semuanya
sama-sama tidak memakai sepatu.
“rusak
sepatu si Ani pak, jadi biar sehati kami lepas juga lah sepatu kami. Sehati
gituloh pak” sahut Ita sambil nyengir-nyengir jelek. Pak Ari hanya membalasnya
dengan senyum menawannya. Hihihi.
“ehk...Intan!
mana si Khael? Kok nggak nampak dia?” tanya Wahyu setelah selesai
merelaksasiakan otot-ototnya yang kelelahan.
“oh
iya ya, kemana dia ya? Ntah lah hyu, suka kali anak itu ngilang-ngilang”.
“ehk,
Wahyu Ita dan yang lainnya, bunda mau nanya sama kalian, siapa diantara kalian
yang semalam ikut konfrontasi. Jujur! Bunda nggak marah kok” ujar pelatih
teater kami tiba-tiba.
“konfrontasi
apa bun?” tanya Ani polos.
“itu
loh...yang semalam ikut-ikutan teriak “nggaaak...” pas waktu bunda telepon
semalam, tentang properti kalian yang mau di pinjam sama anak SMP semalam”.
“oohk...itu.
nggak ada bun, kami nggak ada ikut-ikutan.”Ani, Ita, dan Nova pun menyahutin
hal itu dengan cepat.
“kamu
Wahyu, ada ikut-ikutan semalam? Jujur,” tekan bunda Ibi sekali lagi.
“nggak
ada bun, nggak ada saya ikut-ikutan semalam. Waktu pas bunda telpon kemarin
aja, Wahyu nggak lagi disitu” dengan santainya kata-kata itu lolos dari bibir
Wahyu yang basah karena lidahnya yang tak henti-hentinya menjilati bibirnya
sendiri.
****
Setelah
menunggu lebih lama, akhirnya acara pengumuman para pemenang perlombaan pun
dimulai. Dan para anggota Teater Khansa juga mulai berdatangan satu per satu.
Hampir semua anggota kelompok teaterku turut ikut menyaksikkan acara itu dengan
seksama tanpa merasa bosan sedikit pun, termasuk guru-guruku dan pelatih
tercinta kami Bunda Ibi. Namun, lain halnya dengan aku, aku lebih memilih duduk
sendirian di taman sambil membaca novel roman tentunya. Ntah kenapa perasaanku
seperti memaksaku untuk ‘lebih baik menunggu dipanggil sebagai pemenang teater
sambil membaca novel’, hal itu membuatku merasa seperti...sangat santai.
Sesekali
aku memperhatikan para anggota teaterku dan guru-guruku takut-takut kalau
mereka sudah duluan memegang piala kemenangan. Namun, sayangnya tidak. Belum.
“ahk...lamanya
pengumuman teater ini, sampai muak aku nunggu disini” ungkapan kebosanan
meluncur bebas dari mulutku lalu kembali membaca novel romanku.
Tiba-tiba
Wahyu datang menghampiriku. Ngapain dia kesini? Mungkin bosan nunggu plus cape
kali ya. Heheh, pikirku sambil terus menatap Wahyu yang terus melangkahkan
kakinya kearahku lalu duduk disampingku.
“cape
pun aku nunggu disitu, lama kali pengumumannya” wajahnya pun langsung terlihat
murung seketika. Benar dugaanku, kalau dia bosan plus cape.
“ouh...kalo
aku udah dari tadi capenya” lalu kembali lagi aku memperhatikan novelku.
Setelah
kedatangan Wahyu, lalu datang lah pak Wendi yang sepertinya juga bosan dan
disusul dengan pak Ahmad lalu Khael.
“kelen,
tahun depan harus ikut semua perlombaan ya. Harus. Kecuali dance, nggak penting
yang kayak gitu-gituan. Nanti jadi bencong pula si Wahyu, kan kasian dia” pak
Ahmad pun ngikik-ngikik lalu duduk disebelah kananku.
“ihk...bapak
ini, ada-ada aja” sahut Wahyu yang terlihat agak tersinggung dengan lelucon pak
Ahmad, namun dia pun tertawa juga.
Kami
yang berada disitu pun mulai berbincang-bincang panjang lebar tentang berbagai
hal, sambil menunggu dengan tidak sabar pengumuman pemenang teater. Setelah
waktu berlalu begitu lama, akhirnya sang pembawa acara sekaligus panitia acara
tersebut akan mulai mengumumkan para pemenang dalam kategori teater. Dan hal
itu langsung saja membuat aku dan Wahyu langsung bangkit dari zona nyaman kami
menuju teman-teman kami yang lainnya.
Waktu
terus bergulir, namun sampai saat itu juga tak satupun kami disitu yang
mendengar nama kami disebutkan sebagai penerima piala oleh pembawa acara. Hal
itu membuat kami semua yang berada disitu harus berjuang mati-matian dalam doa,
berharap-harap agar kami menang. Semua piala terus berlalu melewati nama Teater
Khansa, tak ada satupun piala yang menyebutkan nama itu. Doa pun semakin
digunjingkan. Namun sayang, semuanya berlalu sia-sia. Hingga penyebutan nama
pemenang juara umum pertama, kami tetap juga dihiraukan.
Tangis
pun mulai pecah saat itu juga, rasa kekecewaan, takut dan kesal memenuhi hati
kami semua yang saat itu hadir ditempat itu dan menyaksikan semuanya. Kami
semua membalikkan tubuh kami lalu berjalan mendekati pak Wendi yang masih duduk
termenung di taman. Dengan perlahan-lahan kami memberitahukan padanya hasil
dari itu semua.
“pak,
kita...” dengan ragu-ragu kak Ika mengatakannya terlebih lagi didalam hatinya
ada perasaan sedih yang teramat mendalam, karena para kakak kelas ku semua
sudah mempersiapkan kata-kata yang mungkin akan mereka sampaikan jika mereka
menang. Namun sayang, semuanya benar-benar tak sesuai dengan harapan.
“gimana
hasilnya?”tanya pak Wendi yang kelihatan penasaran ekspresi wajah kami semua.
“pak
kita kalah, bahkan kita nggak dapat satu piala pun pak”ujar kak Tine dengan
nada lirih yang terdengar jelas jika engkau menajamkan telingamu. Saat itu juga,
setelah mendengar ungkapan kak Tine, pak Wendi yang semula diam jadi semakin
terdiam bahkan mungkin dia jadi lebih mirip sebuah patung sangkin terdiamnya.
Para
kakak kelasku yang ada disitu dengan spontan langsung meneteskan air mata yang
tak mampu lagi mereka bendung. Aku melihat kearah mata semua teman-temanku yang
lainnya, dan dengan jelas aku dapat melihat mereka penuh perjuangan menahan air
mata mereka, begitu juga diriku. Namun, sayangnya itu tidak bertahan lama, air
mata pun terjatuh dengan mudahnya.
Bunda
Ibi, pak Ahmad dan juga pak Ari pun mendatangi kami dan berdiri didepan kami
menatap kami satu persatu. Satu persatu dari mereka memberikan kata-kata yang
memotivasi kami untuk tetap tegar dan tidak langsung menyerah, namun
kenyataannya malah sebaliknya semua perkataan mereka malah membuat kami semain
meneteskan linangan air mata. Awalnya aku masih mampu menahan air mataku hingga
tenggorokkanku terasa nyeri, namun ketika pak Ari yang mulai berbicara dengan
sejuta kata-kata bijaknya dan cerita-cerita penyemangatnya, air mata yang
mulanya ku bendung sekuat tenaga jatuh tanpa diriku sendiri menyadarinya.
“udalah
buat apa terus-terusan dipikirin, dalam sebuah perlombaan tentunya kita harus
mengalami kekalahan dahulu yang nantinya akan menjadi pembelajaran bagi kita
untuk memenangkannya dikemudian hari. Tahun depan kalian pasti menang” dengan
senyum penyemangatnya yang diarahkannya kepada kami, membuatku semakin teriris.
Setelah
melakukan perbincang-bincangan sejenak untuk meredakan emosi sedih kami,
tiba-tiba saja pak Wendi mengatakan...
“yok,
kita makan bakso bareng-bareng disimpang jalan Unimed itu. Bunda sama yang
lainnya pergi aja duluan, nanti saya nyusul”. Dan dengan segera kami yang masih
adik-an kelas langsung pergi duluan dengan bunda Ibi, sedangkan kakak kelas,
pak Wendi dan pak Ahmad akan menyusul tapi tidak dengan pak Ari karena dia
memiliki urusan dan harus segera pergi.
Sesampainya
kami disana...kami langsung memesan apa yang kami inginkan, semuanya memesan
mie ayam bakso hmm...tapi tidak dengan aku dan bunda Ibi. Hanya kami berdua
yang memesan bakso kosong. Sambil menunggu pesanan, kami sesekali bercerita dan
mengobrol tentang banyak hal, salah satunya... pertunjukkan yang akan kami
lakukan di bulan November nanti. Tawa pun kian lama semakin membahana apalagi
setelah datangnya pesanan kami semua.
“tahun
depan nanti kita ikutin semua perlombannya jangan hanya teater sama puisi. Ica,
Ita, sama Ani nanti kapan-kapan kita latihan monolog, harus kita biasain mulai
dari sekarang ya” ucap bunda Ibi di sela-sela kunyahannya.
Kami
semua tertawa-tawa dengan riang dengan sesekali saling ejek-ejekan. Hingga
sampai kak Widi menyinggung tentang suatu hal didiriku
“cobalah
Intan, buatlah cerpen dari inspirasi makan bakso” sambil tertawa-tawa cekikikan,
namun malah membuat bunda Ibi jadi tersadar akan suatu hal.
“ohh
iya ya, Intan kenapa gak ikut lomba cerpen? Kan Intan suka nulis. Aduh...
sayang kali itu”.
“iya
bun... rencananya tahun depan aja ikutnya, biar nanti belajar-belajar lagi sam
pak Wendi pas kelas dua” aku sambil mengelap keringat dan ingus yang menetes
dan meler. Bunda pun membalasnya dengan anggukan kepala lalu kembali lagi
menikmati baksonya. Tak lama kemudian pak Ahmad, pak Wendi dan kakak kelas yang
lainnya datang menyusul dan langsung memesan makanan mereka. Dan semuanya
kembali hingar bingar, aku merasa seakan-akan warung bakso itu milik kami.
Ketika
hampir semua sudah selesai makan, aku yang sedang iseng mengobrak-abrik mangkok
bakso tiba-tiba saja mendapatkan pencerahan.
“bun...Intan
udah dapat pencerahan nih buat cerpen tahun depan!” dengan euforia aku
mengatakannya dan berhasil membuat semuanya menoleh padaku. Bunda Ibi pun
memasang ekspresi penasaranya. “Bakso Melupakan Segalanya!”.
“loh
kenapa gitu? Maksudnya apa”. Aku pun tersenyum-senyum lalu berkata, “gara-gara
kita makan bakso, kita jadi lupa akan segala kejadian yang barusan aja kta
alami tadi dan sekarang kita malah jadi ketawa-ketawa tanpa batas kayak gini”
aku nyengir-nyengir penuh percaya diri dan disambut dengan tawa dan senyuman
kakak kelas, pak Ahmad, pak Wendi, bunda Ibi dan juga teman-teman yang lainnya.
Aku senang akan hari ini, walaupun barusan saja mengalami kejadian yang tak
mengenakkan namun kebersamaan seperti ini lah yang menjadikan sesuatu yang tak
mengenakkan itu menjadi terasa amat maniiisss...
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar