Rasa memendam sudah tidak terbendung lagi. Maafkan
aku bila ini harus terjadi.
“Abel! Abel! Abel… apa yang kau lakukan?!” teriak
ketakutannya semakin luas terdengar, membuatku ingin segera mengakhirinya.
“maaf, kakak tersayang. Rasa pedih yang selama ini
kau berikan padaku membuatku berpikir kalau kau juga harus merasakannya. Tenang
saja, adikmu tersayang ini tidak terganggu psikologisnya. Dia berpikir waras” dengan
keyakinan penuh aku menghunuskan pisau yang kupegang tepat di perutnya dan seketika
percikan darah mengotori tubuhku. Dia terkulai tak bergerak di sofa. Yah… aku
merasa lega.
Kemudian sesudah semuanya terjadi, tanganku merogoh
telepon seluler yang terdapat di kantung celanaku. Dan dengan cepat jariku
menekan beberapa nomor untuk dihubungi.
“Selamat malam, apa ini kantor polisi?...Telah
terjadi pembunuhan berencana dirumah saya. Bisa anda datang secepatnya” aku mematikan
teleponku, lalu aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan bercak-bercak
darah ditubuhku. Tapi, tiba-tiba saja…
“Ahk…!!!” ya…teriakkan menggema dari arah ruang
keluarga rumahku.
“hiksh…hiksh…tolong! Seseorang tolong! Hisk…”
Akupun mendatanginya, yang kalau tidak salah adalah
kakakku yang pertama, Marsella.
“Ada apa? Apa ada masalah?”
Dia berlari kencang kearahku sambil menangis.
Wow…ini pertama kalinya dia memelukku.
“Abel! Abel! Cepat, cepat! Panggil seseorang!
Panggil seseorang untuk menangkap pembunuhnya! Cep…” tiba-tiba dia berhenti
bicara, dia melepas pelukannya dan memelotiku dengan mata berairnya. Tubuhnya
bergetar ketakutan.
“tenang saja, aku sudah menghubungi polisi” lalu aku
masuk ke dalam kamarku untuk mengganti pakaian. Tapi, sebelum aku benar-benar
masuk, aku berhenti sejenak didepan pintu untuk melihat ekspresinya. Dan aku
tersenyum.
Tak berapa lama mobil polisi sudah memenuhi halaman
rumahku. Mereka keluar dari mobil dan berlari dengan cepat kedalam rumahku. Dan
ya…mereka terkejut melihat mayat kakakku Karen dan isak tangis Marsella. Saat
itulah aku keluar dari dalam kamar, aku berjalan perlahan dengan disoroti lampu
mobil polisi yang cahayanya masuk melalui pintu yang dibuka lebar secara paksa.
“kalian bisa memborgolku sekarang” ucapku santai
sambil mengulurkan kedua pergelangan tanganku. Seperti yang sudah kuduga, aku
mendapatkan tatapan ‘tak percaya’ semua polisi disitu.
“maaf, tapi sesuatu seperti ini bisa saja terjadi”
aku tersenyum setelah sekian lama tidak mampu melakukannya lagi. Tapi,
tiba-tiba saja dari balik garis polisi yang telah dipasang, kedua orang tuaku
muncul dengan tatapan keterkejutan yang sama halnya dengan yang lain.
“baiklah. Kau ditangkap sebagai tersangka atas
pembunuhan saudari kandungmu sendiri. Karen Walcon. Kau ikut kami ke kantor
polisi, jika kau ingin melakukan pembelaan kau diperbolehkan menyewa pengacara”
salah satu polisi maju dan memborgol tanganku dengan cepat, anehnya…tangannya
bergetar, aku bahkan hampir tak dapat membedakan dia grogi atau ketakutan aku
juga akan menghunuskan pisau padanya.
Setelah itu, satu persatu mobil polisi pergi
meninggalkan halaman rumahku. Akupun diseret serta masuk kesalah satu mobil
polisi, tapi sebelum aku benar-benar masuk kedalam mobil, sejenak ku hentikan
langkah kakiku di hadapan orangtuaku. “Ini hasil yang kalian dapat dari cara
kalian membatasi kehidupanku” dan aku tersenyum manis pada papa dan mamaku,
yah…setidaknya senyuman manis itu menutupi mataku yang sendu dan berkaca-kaca.
“cepat masuk!” polisi yang menggandeng tanganku
mendorong tubuhku agar segera masuk kedalam mobil. Aku kembali melihat kearah
orangtuaku, tapi entah kenapa ketika aku melihat, yang kulihat adalah mamaku
pingsan dan langsung dibopong kedalam rumah oleh papaku. Aku hanya bisa
menundukkan kepalaku, menyembunyikan air mata yang terjatuh.
Mobil polisi semakin melaju menjauhi lingkungan
rumahku begitu juga dengan bulan dan bintang-bintang dilangit malam ini, kian
larut mereka semakin menyembunyikan diri dibalik kapas tipis dilangit malam.
“Akhirnya semua berakhirnya juga. Ini melegakan” aku mendesah pelan sambil
menatap langit malam yang sendu. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya
kemudian menahannya untuk beberapa detik lalu menghembuskannya dengan teratur
dari mulutku, jujur kuakui ini sangat menenangkan. Bagiku rumah itu adalah
penjara, dan selamat datang dirumah baruku. Memang terlihat agak keterlaluan,
tapi jika mengingat semua yang sudah terjadi sebelum kejadian ini aku merasa
itu lebih keterlaluan terutama bagi psikis dan masa depan yang kuharapkan.
Masih segar diingatanku bagaimana kejadian yang
membuatku memutuskan untuk melakukan semua ini…
Flashback
“Abel, pulang sekolah jangan lupa langsung ketempat
les Manajemen Keuangan kamu ya. Kemarin mama dikasih tau kalo kamu nggak hadir di
ujian bulanan, untung aja guru les kamu masih ngasih kamu kesempatan untuk
ujian susulan” mama berkata nyaris seperti menyindir aku hampir tak mampu
membedakannya dengan mengingatkan. Tapi seperti biasanya, aku lebih memilih
diam sembari menikmati kunyahan roti lapis dimulutku, walaupun terasa agak
hambar karena suasana pagi ini.
“yaelah…mah. Macam nggak tau Abel aja, palingan juga
jalan sama cowok. Ya kan, bel?” kakakku Karen dengan gampang mengucapkannya
seolah itu sudah menjadi kebiasaanku, aku tersentak saat itu juga dan tentunya
aku terpaksa memberhentikan kunyahanku. “aku mengikuti seleksi pencarian bakat.
Itu hari terakhir, jadi aku terpaksa izin tidak mengikuti les hari itu. Maafkan
aku karena tidak memberitahukannya” ini entah keberapa kalinya aku harus
menahan luapan emosiku. Tapi, entah keberapa kalinya juga mereka berusaha menghancurkan
pertahanan diriku, rasanya aku ingin meledak saat itu juga.
Aku Abel, aku sangat menyukai musik. Tapi, jangan
pernah mengira aku mendapatkan hobi dan bakatku itu keturunan dari keluargaku.
Mereka sangat membenci bakat yang kugeluti dan berharap aku menjadi wanita
kantoran yang kaku. Tidak itu menjijikan. Tak lama lagi aku akan tamat dari
SMU, yang kuharapkan adalah menjadi gadis yang sukses di dunia entertainment.
Tepat pada
jam 6 sore aku pulang kerumah setelah mengikuti les tambahan. Semua itu
terasa amat memuakkan. “aku pulang” aku berjalan gontai kedalam kamarku, semua
beban terasa semakin memberatkan tubuhku. Tapi tepat ketika aku memasuki kamar,
saat itulah semua hal yang selalu mampu membangkitkan gairahku untuk terus hidup enyah dari hadapanku.
Aku terkejut. Poster-poster, alat musik dan bahkan
lirik-lirik lagu yang kubuat sejak aku mengenal dunia musik semuanya hilang.
Aku mencari ke setiap sudut kamarku tapi nihil hasilnya. Aku ingin sekali
berteriak saat itu juga, tapi tiba-tiba aku berpikir siapa yang telah
melakukannya. Aku beranjak saat itu juga dengan wajah yang masih dipenuhi derai
air mata. Kucari ke setiap sudut rumah sembari berpikir, dimana dia berada?!. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya
dirumah sederhana itu, aku melihatnya di halaman belakang rumahku. Tunggu sebentar, apa yang dilakukannya?.
Dan betapa terkejutnya aku ketika kulihat dia dengan asik membakar semua barang
milikku yang sudah susah payah kukumpulkan. Aku perhatikan wajahnya yang
tertawa tanpa rasa bersalah. Dari jarak yang jauh aku hanya mampu memendam
semua perasaan sambil berlinangkan air mata.
sayang, kau
telah melakukan tindakan yang salah. Dan kau harus menerima balasan atas
perbuatanmu. Tak apa aku tidak jadi meraih mimpiku, tak apa, demi membuat mu merasakan perasaan
sakitku. Aku berjanji dalam
hati.
Flashback end
Sangat menyakitkan bukan? Tapi bukan hanya sangat
menyakitkan, kurasa juga sangat sadis dan tega. Mulai sejak sekarang aku sudah
lumayan tenang karena sudah terbebas dari keterikatan untuk meraih mimpi yang
kuharapkan. Ya… walaupun aku akan memiliki rumah baru. Yang lebih baik.
2 tahun setelah
kejadian…
“Abel! Abel! Abellll….!!! Kamu dipanggil sama bu
Tuti, katanya ada masalah yang penting yang mau dibicarain sama kamu. Buruan
gih!” salah seorang tahannan perempuan yang juga sebagai temanku di penjara berteriak penuh kegembiraan,
padahal tadi dia bilang masalahkan terus kenapa suaranya malah terdengar penuh
semangat. Ahh… dasar Neti.
“ada apa sih net? Ada masalah apa? Nanggung nih
kerjaanku” aku tidak menoleh sedikitpun kearah Neti, aku memang sulit
melepaskan fokusku ketika sudah mendesain barang-barang multifungsi
kegemaranku. Hi…hi…hi.
“udah buruan sono pigi, aku nggak mau nanggu kalo
sampe dia ngamuk loh. Cepetan”. Yah akhirnya mau tak mau aku terpaksa
melepaskan pekerjaan mendesainku demi menemui bu Tuti atau kepala sipir di
penjara yang kutempati. Dia sangat baik padaku, karena dia jugalah usaha
barang-barang multifungsi yang kukerjakan didalam penjara berhasil, bahkan sekarang
atas bantuan dia aku bisa memasarkannya hingga keluar negeri. Aah… sangat
menyenangkan.
“permisi bu, ada apa ibu memanggil saya keruangan
ibu? Apa ada yang bisa saya bantu? Atau saya membuat kesalahan?” setelah
mengetuk pintu dan bertanya dengan sopan dia menyuruhku untuk duduk di kusi
yang sudah disediakan di hadapannya.
Tiba-tiba saja bu Tuti langsung menyodorkan sebuah
amplop besar dan berwarna cokelat kepadaku, dapat kulihat dari tatapan matanya
dia ingin aku segera membuka amplopnya dan mengeluarkan isi didalamnya. Mau tak
mau aku harus melakukannya bukan?.
“astaga!” aku terkejut setengah mati saat melihat
isi didalamnya, benar-benar hal yang tak dapat kuduga sebelumnya. Sebuah…sebuah
perjanjian kerjasama perusahaan agar aku bersedia menerima barang-barangku
dilabeli nama perusahaan mereka. Belum lagi itu salah satu perusahaan terkenal.
“bagaimana hal ini bisa terjadi? Kenapa mereka tertarik
dengan produkku?” aku benar-benar masih meragukan apa yang kulihat diamplop
itu.
“produkmu bagus Abel dan belum lagi barang-barang
yang kau pasarkan punya nilai seni yang tinggi hingga banyak yang tertarik
untuk melabeli produkmu” mataku tidak salah menangkap apa yang barusan kulihat,
bu Tuti tersenyum haru melihatku hingga matanya berkaca-kaca. “dan tahukah kau?
Tahun ini kau mendapatkan grasi 6 bulan karena kinerjamu dan etikamu. Tak lama
lagi kau akan berbisnis dengan bebas”. Aku semakin bermimpi mungkin? Tapi,
tidak ini nyata!.
“aku tidak tahu harus berkata apa? Lidahku kelu.
Aku…aku…hanya…hanya ingin berterima kasih, ini semua juga karena berkatmu. Aku
sangat berterima kasih”.
“ucapkan pada Tuhan terlebih dahulu. Abel, kau anak
yang baik, aku…aku tahu itu sejak kau dimasukkan dalam lapas wanita ini. Ntah
apa yang membuatmu dulu melakukan hal seperti itu. Jika, saja itu tidak terjadi
mungkin kau sudah lebih dari sukses sekarang” nada suara itu terdengar penuh
keprihatinan, sangat keibuan. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mama
bersuara seperti itu kepadaku.
“tidak. Maaf, bukan bermaksud menyakiti perasaanmu.
Tapi jika aku masih berada di sana, kuyakini aku takkan berkembang. Keluargaku
hanya mengingini aku menjadi wanita kantoran yang selalu bekerja di balik layar
komputer. Aku tidak ingin itu, kau pun tahu sendiri kalau sebenarnya
cita-citaku adalah menjadi seorang musisi internasional. Maaf…tapi aku memang
merasa lebih baik sewaktu berada di sini bukanya disana” aku merasa emosionalku
naik kembali karena ada yang mengungkit kejadian dua tahun lalu itu, aku ingin
amnesia rasanya.
“maafkan aku jika aku jadi mengingatkanmu tentang
itu lagi. Tapi, tidak bisakah setidaknya kau mengucapkan maaf atas apa yang
sudah kau lakukan padanya” aku yakin sekali, aku mendengar dia sedikit
takut-takut untuk mengatakan itu.
“bu, bolehkah saya permisi pergi. Maaf, jika tidak
sopan. Saya permisi” aku keluar dari ruangan minimalis itu dan berjalan kemana
saja kakiku ingin melangkah. Hingga sekarang kehampaan dalam diriku semakin berkembang,
aku sendiri bahkan bingung harus bagaimana untuk mengatasinya. Aku lemah.
Tiba-tiba saja pikiranku melayang pada berita yang
kudengar enam bulan yang lalu,
yah…berita itu sampai ketelingaku juga karena bu Tuti yang memberitahu. Berita
Karen sudah dapat beraktivitas seperti dahulu lagi. Sejak awal aku sudah tahu
hal itu akan terjadi. Tanpa kusadari bibirku sedikit merekah mengingatnya.
Jujur, aku juga tidak sebejat yang dipikirkan karena
tega membunuh saudari kandungnya sendiri. Aku menusuknya tidak terlalu dalam
tapi menyakitkan. Aku kesal dan ya…tentu saja, tapi aku tidak gila. Aku tahu dia
akan sembuh dan bisa beraktivitas lagi yang aku ingin dia rasakan adalah rasa
sakit yang sama seperti yang selalu dia lakukan padaku. Tapi, ketika pikiranku
terlintas dengan perkataan bu Tuti tadi aku jadi merasa seakan hanya aku yang
memiliki dosa.
Keluargaku. Tak ada satupun yang mengunjungiku dan
terlalu sakit juga untukku mampu melihat mereka. Tapi, ya…sudahlah untuk
sekarang aku hanya ingin menjalani hidup saja tanpa terlalu banyak berpikir ini
itu.
Dua tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, sekarang
umurku sudah hampir memasuki usia 21 tahun. Aku yakin semua yang telah terjadi
itu barulah permulaan, hidupku masih panjang dan masih banyak hal-hal tak
terduga yang bisa saja lebih parah. Tapi, yah… disinilah aku duduk merenung
sendirian ditaman lapas tempatku dihukum atas perbuatanku pada Karen.
Berbanding terbalik saat aku ditangkap dan dibawa oleh mobil polisi untuk
diperiksa, saat itu aku menatap langit malam yang suram tapi sekarang aku
menatap langit siang yang terik dan amat silau seolah berkata bahwa sesuatu
yang lebih hebat masih akan menimpa hidupku. Dan Tuhan biarlah kuserahkan
semuanya padamu karena aku sangat yakin rencanamu memanglah lebih baik…
SELESAI