RUMAH PERSINGGAHAN
.Intan
.
.
Setelah perjalanan mengenal perasaan-perasaan layaknya
perdu. Aku diam, berhenti. Menutup semuanya, dan menyimpan apa yang telah di
dapat.
Di bulan terakhir, pada masa-masa aku sedang
disibukkan dengan tutup buku hidup tahunan.
Kehilangan dan kedatangan hadir bersamaan.
Ramah dan akrab, tapi tidak ada kesiapan sebelumnya.
Pada rumah yang bahkan belum selesai ku tata dengan
baik,
Perlahan
kubuka pintunya. Agar tidak rusak.
Amat
pelan..
“aku tak berani menahan siapapun untuk terus berada di
dalam rumahku. Karena kupikir aku mengenal yang namanya membebaskan”
Pernah,
Aku menghadiri ruang diskusi, di dalamnya pembicaranya
mengatakan “cinta yang baik adalah cinta yang membebaskan”. Amin.
.
Rumahku, aku sedang berkerja keras membangunnya.
Memilah mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus dibuang.
Ingin sekali kupertahankan dia, tapi cintaku menuntut
membebaskan.
Aku
kehilangan, seketika.
Tak ada apapun disini yang dapat kugunakan untuk
mempertahankan sesuatu yang sempat berkunjung ke dalam rumahku.
“ini bukan surga dan bukan pula neraka. Ini hanyalah
sekedar rumah, tempat peristirahatan. Beberapa selalu mencoba masuk, namun
hanya satu yang kuijinkan masuk. Dia yang sekarang telah pergi”
.
Dalam jarak pandang yang samar, tertutup kabut rencana
Tuhan.
Yang lagi-lagi..
Ramah.
Aku
tak pernah ingin siap dengan kedatangan disaat kehilangan.
Dia seorang pendatang dan juga sosok penanti yang
sopan.
“sesungguhnya tamu yang baik adalah ia yang tidak
membuat tuan rumah merasa terganggu dengan kedatangannya”
Dia mengukir senyum dengan ketabahan yang menari-nari
di pundaknya.
Tak
ada kaki sekuat kakinya berdiri di pekarangan rumah,
;menanti
Untuk
dipersilahkan masuk.
.
Bagaimana
mungkin rumah yang belum beres ini harus menerima tamu lagi?
Tak ada
kehilangan yang bisa secepat itu tergantikan.
Ada bekas yang
tertinggal
;peluk
;cium
;dentang waktu
yang tak pernah dipedulikan
;kita
.
“dan sesungguhnya, tuan rumah yang baik adalah ia yang
tidak membuat tamunya terus menunggu hingga bosan”
Pada pekarangan yang tertata rapi dan penuh
bunga-bunga berwarna hangat,
Ku
sambut tamuku.
Kusuguhkan makanan ringan dan secangkir teh hangat
kesukaanku.
Cerita-cerita kecil menemani pertemuan.
Kesederhanaan
itu memang selalu menakjubkan,
Hal
kecil yang perlahan dipahami.. bahwa sesungguhnya tak ada hal kecil di dunia
ini.
Kesepelean saja mampu memicu peperangan.
Maka benar kukatakan,
Tidak
ada yang benar-benar sepele di dunia ini.
Bahkan
pada sebuah kedatangan pun, kupikir itu sama
sekali bukan hal yang sepele.
.
”maaf tuan, aku
harus menyambutmu seperti ini”
“sebelum
berhenti disini, saya sempat mampir dan menunggu di beberapa rumah lainnya.
Tapi tidak ada satupun yang menyambut saya seperti anda menyambut, menyuguhkan
biskuit dan secangkir teh”
.
Di awal pagi yang gelap,
Sesekali kuputuskan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan.
“apakah yang kini harus kulakukan jika sekarang aku
terjebak di dalam duka dan suka?”
Hanya
semilir angin dingin yang membelai kulitku,
Kuanggap
itu cara Tuhan untuk menenangkanku.
Aku masuk ke dalam kamar,
Dan kuputuskan untuk membereskan rumahku kembali,
;esok
;dan seterusnya.
;untuk waktu yang lama.
Amin.
.
.
.
.
.
13 Januari 2020
Sewon, Jogja, di dalam kamar menikmati sepi
sebagai pengingat perasaan,
kuputuskan menulis ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar